Cerpen Hans


Tidak terima dikatakan 'maling' ia langsung pergi dengan amarahnya. Menyusuri setiap jalan dengan bercuap-cuap. Ia kecewa dengan ibunya sendiri. Sikapnya ibu yang hanya diam seolah-olah membenarkan apa yang terjadi.

Iya, memang Hans anak nakal, tapi bukan maling. Kenakalannya hanya sering keluyuran hingga larut malam bahkan sampai pagi. Itupun sekedar duduk di pertigaan jalan bermain kartu tapi, bukan untuk judi. Hanya keisengan anak muda untuk berkumpul serta bermain menemani malam. Yang kalah dihukum dengan mengingkatkan karet di kepala. Serta bersenda gurau memecahkan hening malam.

Relung hati sangat sakit, terus melangkah apa lagi mengingat kata 'sampah masyarakat', orang yang tidak berguna, pengangguran ulung sebagai julukan saat itu. Hatinya terus memekik, dunia sepertinya tidak adil, menghukum orang yang tidak salah. Terus saja lari hingga menampakkan  kakinya di ibu kota.

Gemerlap ibu kota, telah mengantarkan dirinya menjadi bebas. Menghirup udara bebas, Hans sangat senang, tidak ada yang  mengatur lagi. Menjadi asing sangat ia nikmati. Orang saling menyapa, sikapnya pun baik walaupun baru mengenalnya. Katanya, kehidupan di ibu kota itu kejam, tapi nyatanya tidak. Baginya orang yang berada di sekitarnya sangat baik, saling menghormati satu sama lain. Tidak ada yang membedakan, saling ulur tangan. Hans menganggap seperti keluarga kedua.

Kenyamanan hidup di Ibu kota membawanya larut, sehingga lupa dengan keluarga sendiri. Hati semangkin perih jika mengingat. Bekerja caranya untuk menyenangkan serta menghilangkan masalah yang kelam. Beruntung di Ibu kota Hans langsung bertemu dengan orang baik. Diajak jualan bakso keliling ia pun mau. Setidaknya ada pekerjaan untuk bertahan hidup.

Meski sengatan mentari membuat tubuh dibanjiri puih, Hans tidak pernah mengeluh. Jarak yang jauh pun ia lalui untuk menjajahkan dangangannya. Rasa lelah pun seakan hilang jika sudah bertemu dengan bantal kumal di kontrakan.

Dukungan dan suport dari orang sekitar membuat ia betah, apalagi sikap tulus dari paman Supin dan istrinya yang ia anggap seperti orang tua sendiri. Orang yang pertama kalinya menolong saat ia tidak tahu arah, arah jalan dan arah kehidupan.

Kerja keras membawakan hasil, yang dulunya sebagai tukang bakso keliling sekarang sudah mangkal, lambat tahun bertambah dan memiliki cabang bakso hingga 7 cabang.

Kesuksesannya tidak luput dari wejangan yang ibunya berikan. Ia selalu mengingat apa kata beliau dulu katakan, "Jika ingin sesuatu, mintalah kepada Sang Pemilik Alam. Jika ingin dihormati, maka harus menghormati. Kalau tidak mau dicubit, janganlah mencubit. Membantu sesama tidak akan membuat mati kelaparan."

Wejangan yang diberikan oleh beliau, ia terapkan dalam kehidupannya. Buah dari kesabaran, lembaran uang kini berubah menjadi gunung-gunung. Sehingga ia menjadi lupa untuk pulang kepangkuan sang ibu.

***

"Bang, beli bakso satu, dibungkus. Nanti diikat pakai pita ping ini," ujar Bocah, serta memberikan pita warna ping. Karyawan pun menerima dengan tersenyum.

Hans yang sedang mengawasi karyawannya pun mendekat. "Buat siapa hayoh," Hans meledek dan mengembangkan senyumnya.

Bocah itu meminta Hans untuk menunduk agar berdiri sejajar dan berbisik kepadanya,

"Buat kado untuk ibu, hari ini ulang tahunnya."

Hans terdiam seperti ada yang menggganjal di tenggorokan.

Karyawan yang mendengarnya, langsung nimbrung begitu saja, "Anaknya saja baik, pasti ibumu baik jugakan?"

"Pastilah," Bocah itu menjawab mantap, "kadang ibu juga sering marah - marah. Tapi, bagimanapun juga aku sangat sayang karena itu ibuku," jelas bocah itu dengan mata berbinar-binar.

Kalimat bocah itu bagaikan mantra. Bom dalam benak hati Hans. Seakan tersadar dari tidakannya yang kasar terhadap ibunya sendiri. Hans sangat menyesal. Dirinya terus meruntuk, keegoisan serta rasa amarahnya enggan mendengarkan penjelasan malah memilih pergi menjauh.

Derai air mata mulai membanjiri pipi, Hans keluar menancapkan mobil untuk kembali ke kampung halaman. Anak seperti apa dirinya,  boro-boro memberikan hadiah, ulang tahunnya saja Hans tidak tahu.

Hatinya terus saja bergemuruh, memasuki halaman rumah yang terlihat tidak terawat. Banyak tumbuhan liar yang tumbuh serta menutupi pagar rumahnya.
Pikiran buruk selalu di tepis, ternyata benar adanya.

Harapannya pupus. Ibu pergi semenjak dua minggu Hans pergi, setelah dirinya membuktikan kalo Hans tidak bersalah dan bukan maling. Meski peristiwa itu tidak dilaporkan kepihak yang berwajib oleh warga setempat. Dengan dalih agar nama baik desa tidak tercemar. Serta diberi peringatan agar tidak mencuri lagi kotak amal masjid.

"Maaf, Hans. Saya berbuat kasar waktu itu," ujar Pak Yayat penuh dengan penyesalan.

"Tidak apa-apa. Saya sudah memafkan Pak."


Pada waktu itu nasib nahas menimpa Hans saat ketiduran di masjid seorang diri. Setelah itu dipertigaan jalan bertemu dengan Rojak, teman nongkrong. Lalu Rojak menitipkan barang berukuran kotak yang dibalut sarung. Hans menerima saja tidak membukanya serta menaruhnya di rumah. Barang bukti berada di tangan Hans, warga menganggap Hans pelakunya.
***

Masalah kelam itu Hans sudah melupakannya. Yang terpenting saat ini adalah bertemu dengan ibu. Ia sangat menyesal sudah berprasangka burukuk  terhadapnya. Hans terus saja mencari sambil membawa foto ibunya. Menyusuri setiap jalan perkampungan hingga ke kota, tapi hasilnya nihil.

Hans menghela napas, istirahat sejenak di masjid setelah bermunajad ke Sang Pemilik manusia. Lalu ia mulai teringat tempat favorit ibunya yang biasa dikunjungi bersamanya yaitu pantai.

Hans beranjak serta lari penuh dengan harapan. Pantai dengan hamparan pasir yang sangat indah, gulungan ombak menemani langkahnya.

Hans menangkap sosok yang tidak asing baginya. Ia sangat iba, melihatnya memunguti sampah di dekat pantai serta memasukannya ke dalam karung. Hans tidak percaya, lalu ia mengamati dengan teliti. Ternyata benar itu ibunya.

Ibu...!

Hans teriak serta lari dengan perasaan haru. Menghampiri wanita yang telah melahirkanya. Memeluk serta, bersudud di kakinya, kata 'maaf' terus saja terucap.

Langit yang cerah mewakili hati dari dua manusia. Hans duduk berdampingan bersama ibunya menghadap ke pantai, melepas rasa rindu.

Hans bangkit dari kursi ketika ibunya batuk, ia pergi membeli air minum, melihat sesuatu yang menarik, Hans membeli untuk ibunya.

"Silahkan diminum," pinta Hans serta menyuapinya.

"Terima kasih, Nak," ujarnya lembut diiringi dengan batuk kecil.

"Ini buat Ibu, pasti suka," Hans menyodorkan botol yang berisi dua ikan hias yang sangat cantik. Kebetulan ibunya sangat suka dengan ikan hias bahkan mengkoleksinya.

Kado yang sangat sederhana membuat ibu menetaskan airmata. Hans menyapu dengan ujung jarinya penuh dengan kasih sayang. Hans tak kuasa melihatnya ia pun memeluk dibalas dengan pelukan yang erat. Mereka saling meneteskan airmata.

Ibu melepaskan pelukan serta menyandarkan kepalanya di lengan Hans. Mereka terus saja memandangi arah laut.

"Hans, kamu adalah kado terindah untuk ibu dari Sang Pemilik Bumi," lirih Ibu.

Bersamaan dengan lirihan ibu, salah satu ikan hias yang ada di botol tidak bergerak lagi. Senyuman Hans berubah teriakan setelah melihat ibunya memejamkan mata untuk selamanya.

"Ibu! Ibu! Ibu...."

Tegal, 22 April 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Belajar tak mengenal usia

[Review Novel Yorick] Serba-Serbi Isi Novel Yorick